Busana
Busana Masyarakat Baduy
Sebelum adanya benang dari kapas, Masyarakat Baduy mengenal pelah sebagai bahan baku benang untuk pakaian mereka. Pelah merupakan tanaman menjalar sejenis rotan, batangnya bisa mencapai 100 meter. Tanaman pelah dapat dibudidayakan dan memerlukan waktu 3 tahun untuk dapat dipanen, terhitung sejak awal pembibitan.
Tanaman ini dipanen pucuk daunnya setiap bulan kemudian dikeringkan, dipilin pilin dijadikan benang. Lalu ditenun sehingga menjadi selembar kain pelah untuk dijahit sebagai jamang atau samping yang merupakan pakaian adat Masyarakat Baduy.
Saat ini, Masyarakat Baduy lebih banyak menggunakan benang kapas. Untuk Baduy Dalam masih menggunakan benang kapas yang dipintal secara manual. Sedangkan Baduy Luar sudah menggunakan benang siap pakai yang mereka beli dari pasar.
Jamang, sebutan untuk pakaian yang dikenakan kaum laki-laki Masyarakat Baduy. Biasanya dipadu-padankan dengan Aros yang dikenakan sebatas lutut. Dan setiap laki-laki mengenakan ikat kepala dengan sebutan Telekung untuk Masyarakat Baduy Dalam. Dan Romal, untuk sebutan ikat kepala Masyarakat Baduy Luar.
Samping, sebutan untuk kain yang dikenakan Perempuan Baduy. Samping dikenakan di bawah lutut dan beragam jenis motifnya, diantaranya adalah Poleng Kacang Herang, Poleng Bereum, Suat Songket, Suat Seumata, dan Adu Mancung.
Masyarakat Baduy juga mengenal kain batik. Menurut sejarah, batik baduy dipesan dari wilayah Jawa Tengah, sehingga tidak heran jika motif batik baduy dipengaruhi oleh motif dari Solo, Cirebon dan Pekalongan. Perlu mengeksplorasi kembali mengapa ketiga daerah tersebut menjadi inspirasi dari motif batik baduy.
Mereka menggunakan wastra pada saat beberapa ritual adat seperti jarah ka kolot dan kegiatan rutin lainnya, seperti pertemuan adat, kegiatan kawolu dan kegiatan sereun taun.
Ada satu tenun klasik dari Baduy, dimana tingkat pengerjaannya cukup sulit, yang bernama Kain Janggawari. Motif terlihat sederhana namun elegan. Sayangnya, wastra yang satu ini mulai jarang dibuat oleh Perempuan Adat Baduy.
Satu hal yang menggembirakan terkait proses pewarnaan. Saat ini di Kampung Baduy sudah mulai kembali menggunakan pewarnaan alam untuk wastranya. Kang Sukma namanya, inisiator pewarnaan alam dan mengajak artisan lain di kampungnya untuk menggunakan bahan-bahan dari alam sekitar wilayah adat mereka, untuk diramu menjadi pewarna wastra dengan teknik celup ikat.
Seperti pada wastra pada umumnya, kain tenun dari Baduy juga menggunakan buah lerak untuk mencucinya.
Gerai Nusantara
GENUS Coffee & Boutique
Jalan Raya CIFOR No. 8, Situgede Kota BOGOR